Oleh:
AM Hasan Ali, MA*
1. Pendahuluan
Awalnya, wacana
tentang asuransi syariah termasuk dalam hukum Islam kontemporer. Pada zaman
awal Islam, yaitu pada zaman Nabi Muhammad Saw dan periode Islam berikutnya,
belum di kenal institusi keuangan asuransi. Tidak ada nash al-Qur’an atau
Hadits Nabi yang menjelaskan tentang teori dan praktek operasional asuransi
yang difahami seperti saat ini. Secara historis pembahasan tentang asuransi
baru muncul pada abad 18, yaitu pada masa hidupnya Ibnu Abidin (1784-1836),
seorang ulama ahli fiqh dari kalangan Madzhab Hanafiah, yang memberi tanggapan
praktek asuransi pada kitabnya Raddul
Mukhtar, pada Bab al-musta’min
(pihak yang meminta jaminan).
Sebagai bagian
dari masalah fiqh kontemporer, wacana
tentang asuransi syariah memungkinkan untuk dikaji secara ijtihadiy. Di kalangan ulama kontem-porer, di antaranya Mustafa
Ahmad Zarqa, termasuk salah satu ulama yang bisa menerima praktek asuransi
dengan catatan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam ajaran
Islam. Dalam hal ini, asuransi dapat diterima dan dijalankan setelah melalui
penyesuaian-penyesuaian melalui proses “islamisasi”. Praktek yang tidak sesuai
dengan Islam dikeluarkan dalam operasional kegiatan asuransi, seperti praktek
riba (bunga), maisir dan gharar.
Penerimaan
praktek asuransi di kalangan ulama dapat melalui institusi ijma’ jama’i (kesepakatan bersama), seperti lembaga fatwa yang ada
dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau lembaga bahtsul masa’il di NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Pada tahun
2001, MUI melalui Dewan Syariah Nasional (DSN), telah mengeluarkan fatwa
tentang pedoman umum asuransi syariah sebagai panduan awal operasional industri
asuransi syariah di Indonesia. Tujuan
adanya fatwa ini sebagai panduan awal
operasional asuransi syariah di Indonesia.
Pada tahap
berikutnya, fatwa tentang asuransi syariah yang dikeluarkan oleh DSN-MUI dapat
dijadikan bahan materi dalam proses positivisasi hukum ekonomi syariah yang
sedang dikerjakan oleh Kelompok Kerja (Pokja) Mahkamah Agung RI.
Di sisi lain,
perlu mendapat perhatian dalam masalah asuransi syariah adalah sistem
operasional dan akad yang digunakan dalam kegiatan asuransi syariah. Pada
masalah akad banyak ditemukan dalam operasional asuransi syariah yang tidak
didasarkan pada satu akad saja, tetapi lebih banyak menggunakan gabungan dari
beberapa akad. Contohnya, produk asuransi syariah yang memakai dua rekening,
rekening saving dan rekening non saving (tabarru’), mendasarkan akadnya pada akad tabarru’ dan akad tijarah.
2. Memahami Definisi Asuransi Syariah
Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris,
insurance, yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan
diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata
“pertanggungan”. Echols dan Shadilly memaknai kata insurance dengan (a)
asuransi, dan (b) jaminan. Dalam bahasa
Belanda biasa disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering
(pertanggungan).
Dalam bahasa Arab istilah asuransi biasa
diungkapkan dengan kata at-tamin yang
secara bahasa berarti tuma’ninatun nafsi
wa zawalul khauf, tenangnya jiwa dan hilangnya rasanya takut. Maksudnya,
orang yang ikut dalam kegiatan asuransi, jiwanya akan tenang dan tidak ada rasa
takut ataupun was-was dalam menjalani kehidupan, karena ada pihak yang
memberikan jaminan atau pertanggungan. Hal ini sama dengan seseorang yang
sedang kuliah atau sekolah yang keperluan sehari-harinya ada yang menjamin dalam
pelaksanaan kuliah dia akan merasa tenang dan tidak perlu kuatir. Berbeda
dengan seseorang yang menjalani kuliah tanpa adanya jaminan dari orang tua atau
orang lain, kuliah sambil kerja, orang tersebut menjalani kuliah tidak tenang
dan ada perasaan kuatir, karena harus mencari biaya sendiri selama kuliah.
Mengenai definisi asuransi secara baku
dapat dilacak dari peraturan (perundang-undangan) dan beberapa buku yang
berkaitan dengan asuransi, seperti yang tertulis di bawah ini:
Muhammad Muslehuddin dalam bukunya Insurance
and Islamic Law mengadopsi pengertian asuransi dari Encyclopaedia Britanica
sebagai suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang, yang dapat
tertimpa kerugian, guna menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan,
sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah seorang di antara mereka maka
beban kerugian tersebut akan disebarkan ke seluruh kelompok.
Lebih jauh Muslehuddin menjelaskan
pengertian asuransi dalam sudut pandang yang berbeda, serta mengalami
kesimpangsiuran. Ada yang mendefinisikan asuransi sebagai perangkat untuk
menghadapi kerugian, dan ada yang mengatakannya sebagai persiapan menghadapi
risiko. Dilihat dari signifikansi kerugian, Adam Smith berpendapat bahwa
asuransi dengan menyebarkan beban kerugian kepada orang banyak, membuat
kerugian menjadi ringan dan mudah bagi
seluruh masyarakat.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan
bahwa asuransi (Ar: at-ta’min) adalah “transaksi perjanjian antara dua
pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain
berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi
sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.”
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang dimaksud asuransi atau pertanggungan
adalah “suatu perjanjian (timbal balik), dengan mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk
memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya, karena
suatu peristiwa tak tentu (onzeker vooral).”
Asuransi menurut UU RI No. 2 th. 1992
tentang Usaha Perasuransian, yang dimaksud dengan asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan,
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Sedangkan pengertian asuransi
syariah menurut fatwa DSN-MUI, yang lebih dikenal dengan ta’min, takaful, atau
tadhamun adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara
sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang
sesuai dengan syariah .
Dari definisi asuransi syariah
di atas jelas bahwa pertama, asuransi syariah berbeda dengan asuransi
konvensional. Pada asuransi syariah setiap peserta sejak awal bermaksud saling
menolong dan melindungi satu dengan yang lain dengan menyisihkan dananya
sebagai iuran kebajikan yang disebut tabarru’. Jadi sistem ini tidak
menggunakan pengalihan risiko (transfer of risk) dimana tertanggung harus membayar premi,
tetapi lebih merupakan pembagian risiko (sharing of risk) di mana
para peserta saling menanggung. Kedua, akad yang digunakan dalam
asuransi syariah harus selaras dengan hukum Islam (syari’ah), artinya akad yang
dilakukan harus terhindar dari riba, gharar (ketidak jelasan dana), dan maisir
(gambling), di samping itu investasi dana harus pada obyek yang halal-thoyibah.
3. Nilai Filosofis Asuransi Syariah
Allah menciptakan manusia di muka bumi
sebagai khalifah (wakil Allah) yang bertugas untuk memakmurkan kehidupan di
muka bumi. Firman Allah Swt. dalam QS. al-Baqarah [2]:30
وَإِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ
خَلِيْفَةً...[البقرة:30]
Arinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan (khalifah)
di muka bumi…” (QS. Al-Baqarah [2]: 30]
Sebagai makhluk yang lemah, manusia harus
senantiasa sadar bahwa keberada-annya tidak akan mampu hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain atau sesamanya. Solusinya adalah firman Allah Swt. dalam QS.
al-Maidah [5]: 2
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى
اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ
الْعِقَاِب.[المائدة:2]
Artinya: “...Tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan)kebaikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. al-Maidah
[5]: 2)
Dengan ayat ini, manusia dituntun oleh
Allah Swt. agar selalu berbuat tolong-menolong (ta’awun) antar sesamanya
dalam kebaikan dan didasari atas nilai takwa kepada Allah Swt. Hal ini
merupakan satu prinsip dasar yang harus dipegangi manusia dalam menjalani
kehidupannya di atas permukaan bumi ini. Dengan saling melakukan
tolong-menolong (ta’awun), manusia telah menjalankan satu fitrah dasar
yang diberikan Allah Swt. kepadanya. Prinsip dasar inilah yang menjadi salah
satu nilai filosofi dari berlakunya asuransi syariah.
Di
sisi lain manusia mempunyai sifat lemah dalam menghadapi kejadian yang akan
datang. Sifat lemah tersebut berbentuk ketidak-tahuannya terhadap kejadian yang
akan menimpa pada dirinya. Manusia tidak dapat memastikan bagaimana keadaannya
pada waktu di kemudiaan hari (future time). Firman Allah Swt. telah ditegaskan
dalam QS. al-Taghaabun [64]:11 dan QS.
Luqman [31]:34:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ...[التغابن: 11]
Artinya: “Tidak ada sesuau musibahpun
yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah…” (QS. Al-Taghaabun [64]:
11)
إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ
الْغَيْثَ وَيُعَلِّمُ مَا فِي اْلأَرْحاَمِ وَماَ تَدْرِى نَفْسٌ ماَذَا تَكْسِبُ
غَداً وَماَ تَدْرِى نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ
خَبْيْرٌ.[لقمان: 34]
Artinya: “Sesungguhnya
Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah
Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak
seorangpun yang dapa mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya
besok; dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Luqman [31]: 34)
Apakah hari esok dia (manusia) masih dalam keadaan
sehat wal-afiat dan masih dapat melihat terbitnya matahari di sebelah timur
atau apakah harta kekayaannya masih dalam keadaan aman dan tidak akan mengalami
kehancuran atau terkena kebakaran?
Sebuah pertanyaan yang tidak akan dapat
dipastikan jawabannya oleh manusia,
karena kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia tidak dapat menjangkau
hal-hal yang belum terjadi. Allah Swt. tidak memberikan kemampuan tersebut
kepada manusia. Kemampuan yang diberikan kepada manusia hanya sebatas
memprediksikan dan merencanakan (planning) sesuatu yang belum terjadi
serta memproteksi segala sesuatu yang dirasa akan memberikan kerugian di masa
mendatang.
Suatu yang telah menjadi ketetapan-Nya
adalah ajal (kematian) yang akan dialami oleh setiap manusia. Firman Allah Swt.
QS. Ali Imran [3]: 145 dan 185:
وَماَ كاَنَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوْتَ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ كِتاَباً
مُؤَجَّلاً...[أل عمران: 145]
Artinya: ”Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati
melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang tertentu waktunya.”
(QS. Ali Imran [3]: 145)
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ. [أل عمران: 185]
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati…” (QS. Ali
Imran [3]: 185)
Dalam hal ini manusia ditugaskan hanya mengatur
bagaimana cara mengelolah kehidupannya agar mendapatkan kebahagiaan di dunia
dan akhirat (sa’adah al-daraini), seperti firman Allah Swt. dalam QS.
al-Baqarah [2]: 201. Adapun salah satu caranya adalah dengan menyiapkan bekal
(proteksi) untuk kepentingan di masa datang agar segala sesuatu yang bernilai
negatif, baik dalam bentuk musibah, kecelakaan, kebakaran ataupun kematian,
dapat diminimalisir kerugiannya. Hal semacam ini telah dicontohkan oleh Nabi
Yusuf secara jelas dalam menakwilkan mimpi Raja Mesir tentang tujuh ekor sapi
betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus. Firman Allah
Swt. dalam QS. Yusuf [12]: 46-49
يُوْسُفُ أَيُّهاَ الصِّدِّيْقُ أَفْتِنَا فِي
سَبْعِ بَقَرَاتٍ سِماَنٍ يَأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَّسَبْعِ سُنْبُلاَتٍ
خُضْرٍ وَّأُخَرَ يَبِساَتٍ لَّعَلِّي أَرْجِعُ إِلَى النَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَعْلَمُوْنَ. قَاَل تَزْرَعُوْنَ سَبْعَ سِنِيْنَ دَأَبًا فَمَا حَصَدْتُمْ
فَذَرُوْهُ فِي سَبِيْلِهِ إِلاَّ قَلِيْلاً مَا تَأْكُلُوْنَ. ثُمَّ يَأْتِيْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ سَبْعٌ
شِدَادٌ يَأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ إِلاَّ قَلِيْلاً مِمَّا
تُحْسِنُوْنَ. ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَاٌم فِيْهِ يُغَاثُ النَّاسُ
وَفِيْهِ يَعْصِرُوْنَ. [يوسف: 46-49]
Arinya: “(Setelah
pelayan iu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): “Yusuf, hai orang yang amat
dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang
gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh
bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali
kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya”. Yusuf berkata: “Supaya kamu
bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai
hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian
sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang
kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit
gandum) yang kamu simpan.Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya
manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur).
(QS. Yusuf [12]: 46-49)
Ayat di atas memberikan pelajaran berharga
bagi manusia pada saat ini yang secara ekonomi dituntun agar mengadakan
persiapan secara matang untuk menghadapi masa-masa yang sulit jikalau menimpanya
pada waktu yang akan datang. Praktek asuransi ataupun bisnis pertanggungan
dewasa ini telah mengadopsi semangat yang timbul dari nilai-nilai yang telah
berkembang sejak zaman dahulu dan ada bersamaan dengan kehadiran manusia.
Paling tidak terekam melalui cerita Nabi Yusuf di atas dan penjelasan dalam
al-Qur’an atau sunnah Nabi Muhammad Saw.
Jadi, prinsip dasar inilah yang menjadi
tolok ukur dari nilai filosofi asuransi syariah yang berkembang pada saat ini.
Yaitu dalam bentuk semangat tolong-menolong, bekerjasama dan proteksi terhadap peril
(peristiwa yang membawa kerugian).
4. Pendapat Ulama tentang Asuransi
Para ulama awalnya berbeda pendapat dalam
menentukan keabsahan praktek hukum asuransi. Secara garis besar, kontroversial
terhadap masalah ini dapat dipilah menjadi dua kelompok, yaitu pertama ulama
yang mengharamkan asuransi, dan kedua ulama yang membolehkan asuransi. Kedua
kelompok ini mempunyai hujjah (dasar hukum) masing-masing dan memberikan
alasan-alasan hukum sebagai penguat terhadap pendapat yang disampaikannya. Di
antara pendapat para ulama dalam masalah asuransi ini ada yang mengharamkan
asuransi dalam bentuk apapun dan ada yang membolehkan semua bentuk asuransi. Di
samping itu ada yang berpendapat membolehkan asuransi yang bersifat sosial (ijtima’i)
dan mengharam-kan asuransi yang bersifat komersial (tijary) serta ada
pula yang meragukannya (subhat).
Alasan ulama yang mengharamkan praktek
asuransi, adalah:
a. Asuransi mengandung unsur perjudian yang
dilarang di dalam Islam.
b. Asuransi mengandung unsur ketidak-pastian.
c. Asuransi mengandung unsur riba yang
dilarang dalam Islam
d. Asuransi termasuk jual-beli atau tukar
menukar mata uang tidak secara tunai.
e. Asuransi obyek bisnisnya digantungkan pada
hidup matinya seseorang, yang berarti mendahului takdir Allah Swt.
f. Asuransi mengandung unsur eksploitasi yang
bersifat menekan.
Mahdi Hasan melarang praktek asuransi
dikarenakan: (a) Asuransi tak lain adalah riba berdasarkan kenyataan bahwa
tidak ada kesetaraan antara dua pihak yang terlibat, padahal kesetaraan demikian wajib ada-nya, (b) Asuransi juga
adalah perjudian, karena ada penggantungan kepemilikan pada munculnya risiko,
(c) Asuransi adalah pertolongan dalam dosa, karena perusahaan asuransi,
meskipun milik negara, toh merupakan institusi yang mengadakan transaksi dengan
riba, (d) Dalam asuransi jiwa juga ada unsur penyuapan (risywah), karena
kompensasi di dalamnya adalah untuk
sesuatu yang tidak dapat dinilai.
Argumentasi ulama dalam membolehkan
asuransi adalah:
a. Tidak terdapat nash al-Qur’an atau Hadits
yang melarang Asuransi
b. Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan
kerelaan antara kedua belah pihak
c. Asuransi menguntungkan kedua belah pihak
d. Asuransi mengandung kepentingan umum,
sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan.
e. Asuransi termasuk akad mudharabah
antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi, dan
f. Asuransi termasuk syirkah
at-ta’awuniyah, usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong menolong.
5. Akad Pada Asuransi Syariah
Akad pada operasional asuransi syariah
dapat didasarkan pada akad tabarru’, yaitu akad yang didasarkan atas
pemberian dan pertolongan dari satu pihak kepada pihak yang lain.[1]
Akad tabarru’ merupakan bagian dari tabaddul haq (pemindahan
hak). Walaupun pada dasarnya akad tabarru’ hanya searah dan tidak
disertai dengan imbalan, tetapi ada kesamaan prinsip dasar di dalamnya, yaitu
adanya nilai pemberian yang didasarkan atas prinsip tolong-menolong dengan
melibatkan perusahaan asuransi sebagai lembaga pengelolah dana.
Dengan akad tabarru’ berarti
peserta asuransi telah melakukan persetujuan dan perjanjian dengan perusahaan
asuransi (sebagai lembaga pengelolah) untuk menyerahkan pembayaran sejumlah
dana (premi) ke perusahaan agar dikelolah dan dimanfaatkan untuk membantu
peserta lain yang kebetulan mengalami kerugian. Akad tabarru’ ini
mempunyai tujuan utama yaitu terwujudnya kondisi saling tolong-menolong antara
peserta asuransi untuk saling menanggung (takaful) bersama. Zarqa
tidak menyebutkan akad takaful dalam mengilustrasikan kondisi semacam ini,
tetapi dengan memakai istilah akad tabarru’.[2]
Sebagai implikasinya, adalah peniadaan prinsip pertukaran (tabaddul)
yang layak terjadi pada akad al-ba’i (jual-beli). Akad tabadduly
adalah akad yang selama ini dipakai oleh perusahaan asuransi konvensional,
yaitu memposisikan nasabah asuransi sebagai pembeli polis yang dikeluarkan oleh
perusahaan asuransi, sedang pihak perusahaan adalah penjual polis yang harus
dibayar melalui pembayaran premi. Akibat dari akad ini (tabaduly) adalah
keharusan pemindahan hak.[3]
Akad lain yang dapat diterapkan dalam
bisnis asuransi adalah akad mudharabah, yaitu satu bentuk akad yang
didasarkan pada prinsip profit and loss sharing (berbagi atas untung dan
rugi), di mana dana yang terkumpul dalam total rekening tabungan (saving)
dapat di-investasi-kan oleh perusahaan asuransi yang risiko investasi
ditanggung bersama antara perusahaan dan nasabah.
Secara ringkas, dapatlah dikatakan bahwa
dalam praktek asuransi paling tidak ada dua akad yang membentuknya, yaitu; akad
tabarru’ dan akad mudharabah. Akad tabarru’ terkumpul dalam
rekening dana sosial yang tujuan utamanya digunakan untuk saling menanggung (takaful)
peserta asuransi yang mengalami musibah kerugian. Sedang akad mudharabah
terwujud tetkala dana yang terkumpul dalam perusahaan asuransi itu
diinvestasikan dalam wujud usaha yang diproyeksikan menghasilkan keuntungan (profit).
Karena landasan dasar yang awal dari akad mudharabah ini adalah prinsip profit
and loss sharing, maka jika dalam investasinya mendapat keuntungan, maka
keuntungan tersebut dibagi bersama sesuai dengan porsi (nisbah) yang
disepakati. Sebaliknya jika dalam investasinya mengalami kerugian (loss atau
negative return) maka kerugian tersebut juga dipikul bersama antara
peserta asuransi dan perusahaan.
6. Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi
Konvensional
a. Akad
Dalam operasional asuransi, akad antara perusahaan
dengan peserta harus jelas. Apakah akadnya jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful).
Dalam asumsi biasa (konvensional) terjadi kerancuan/ketidakjelasan dalam
masalah akad. Pada asuransi biasa akad yang melandasi adalah jual beli (aqd tadabuli). Oleh karena itu
syarat-syarat dalam akad jual beli harus terpenuhi dan tidak boleh dilanggar
ketentuan syariahnya.
Syarat dalam transaksi jual beli adalah
adanya penjual, pembeli, terdapatnya harga, dan barang yang diperjualbelikan.
Pada asuransi biasa, penjual, pembeli, barang atau yang akan diperoleh ada,
yang dipersoalkan adalah berapa besar premi yang harus dibayar kepada
perusahaan asuransi, padahal hanya Allah yang tahu tahun berapa kita meninggal.
Jadi pertanggungan yang akan diperoleh sesuai dengan perjanjian, akan tetapi
jumlah yang akan disetorkan tidak jelas tergantung usia kita, dan hanya Allah
yang tahu kapan kita meninggal.
Dengan demikian akadnya jual beli maka
dalam asuransi biasa terjadi cacat secara syariah karena tidak jelas (gharar). Yaitu berapa besar yang akan
dibayarkan kepada pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada
produk non saving).
b.
Gharar (ketidakjelasan)
Definisi gharar menurut madzhab Syafii adalah
apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling
kita takuti. Ibnu Taimiyah bicara tentang gharar, yaitu al gharar yang tidak
diketahui akibatnya. Sedangkan Ibnu Qoyim berkata al gharar adalah yang tidak
bisa diukur penerimaannya baik barang itu ada atau tidak ada, seperti menjual
hamba yang melarikan diri dan unta liar meskipun ada.
Pada asuransi konvensional, terjadi karena
tidak ada kejelasan makud alaih (sesuatu yang diakadkan). Yaitu meliputi
beberapa sesuatu akan diperoleh (ada atau tidak, besar atau kecil). Tidak
diketahui berapa yang akan dibayarkan, tidak diketahui berapa lama kita harus
membayar (karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal). Karena tidak
lengkapnya rukun dari akad maka terjadilah gharar. Oleh karena itu para ulama
berpendapat bahwa akad jual beli atau akad pertukaran harta benda dalam hal ini
adalah cacat secara hukum.
Takaful mengganti akad tadi dengan niat
tabarru (aqd takafuli), yaitu suatu
niat tolong menolong pada sesama peserta takaful apabila ada yang ditakdirkan
mendapat musibah. Pertolongan tersebut tentunya tidak tertutup kemungkinan
untuk kita atau keluarga apabila Allah mentakdirkan kita lebih dahulu mendapat
musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita
menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar. Seperti yang
disebutkan dalam beberapa hadist.
Rasulullah pernah melarang jual beli
gharar (HR Muslim). Dari Ali RA katanya Rasulullah pernah melarang jual beli
orang terpaksa, jual beli gharar HR Abu Daud).
Konsekuensi dari akad dalam asuransi
konvensional, dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi. Sedangkan dalam
asuransi takaful, dana yang terkumpul adalah milik peserta dan takaful tidak
boleh mengklaim milik takaful.
d.
Tabarru
Tabarru berasal dari kata tabarraa yatabarra tabarrauan, yang artinya sumbangan atau derma.
Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat tabarru merupakan
alternatif uang yang sah dan diperkenankan. Tabarru bermaksud memberikan dana
kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama
peserta takaful, ketika diantaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu
dana tabarru disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah,
dana klaim yang diberikan adalah dari rekening tabarru yang sudah diniatkan
oleh sesama takaful untuk saling tolong menolong.
Menyisihkan harta untuk tujuan membantu
orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam agama Islam, dan akan
mendapat balasan yang sangat besar dihadapan Allah, sebagaimana digambarkan
dalam hadist Nabi SAW, barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan
memenuhi hajatnya (HR Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
e. Maisir (judi, untung/untungan)
Dalam mekanisme asuransi konvensional, maisir
(untung untungan), sebagai akibat dari status kepemilikan dana dan adanya
gharar. Al gharar menurut bahasanya artinya penipuan., yang tidak ada unsur
rela pada pelaksanaannya, sehingga termasuk memakan harta bathil. Pada bagian
lain Zuhail berkata bahwa baial gharar adalah jual beli yang mengandung resiko
bagi salah seorang yang mengadakan akad sehingga mengakibatkan hilangnya harta.
Faktor inilah yang dalam asuransi konvensional disebut maisir (gambling).
Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa
dalam asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya
menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al maisir. Muhammad Fadli
Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional mengatakan adanya
unsur maisir karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa.
Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia, sebelum periode akhir
polis asuransinya, namun telah membayar preminya sebagian maka tanggungannya
akan menerima sejumlah uang tertentu.
Bagaimana cara memperoleh uang dan dari mana
asalnya tidak diberitahukan kepada pemegang polis. Hal ini dipandang sebagai al
maisir. Unsur ini pula yang terdapat dalam bisnis asuransi, dimana keuntungan
yang diperoleh tergantung dengan pengalaman si penanggung, keuntungan dipandang
sebagai hasil mengambil resiko, bahkan sebagai hasil kerjanya yang riil.
Lebih jauh Muhammad Fadli Yusuf mengatakan, tetapi
apabila pemegang polis mengambil (ikut) asuransi tidak dapat disebut judi. Yang
boleh disebutkan judi, jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak sedikitnya
klaim yang dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi
oleh banyak sedikitnya klaim yang dibayarnya.
f. Riba
Dalam hal riba, semua asuransi konvensional
menginvestasikan dananya dengan bunga. Dengan demikian asuransi konvensional
selalu melibatkan diri dalam riba. Demikian juga dengan perhitungan kepada
peserta, dilakukan dengan menghitung keuntugan di depan. Takaful menyimpan
dananya di bank yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudharabah.
Demikian pula investasinya, selain di bank-bank syariah juga pada bidang-bidang
lain yang tidak bertentangan dengan syariah.
Allah dengan tegas melarang praktek riba,
“Hai orang-orang yang beriman janganlah
kamu memakan riba yang memang riba itu bersifat berlipat ganda dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan” (Ali Imron:130). Sedangkan
hadist Nabi mengutuk orang-orang yang terlibat dalam transaksi riba “Rasulullah
mengutuk pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya
bersabda kepada mereka semua sama” (HR Muslim).
g.
Dana Hangus
Hal lain yang sering dipermasalahkan oleh para
ulama pada asuransi konvensional adalah adanya dana yang hangus, dimana peserta
yang tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mendundurkan diri
sebelum masa reversing period, maka dana peserta itu hangus. Demikian pula juga
asuransi non saving (tidak mengandung unsur tabungan) atau asuransi kerugian
jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan
akan hangus yang sekaligus menjadi milik pihak asuransi.
Hal ini menurut para ulama sangat
merugikan peserta terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena
suatu hal. Di satu sisi tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika
tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Pada kaitan ini peserta
dalam posisi yang dizalimi, padahal dalam praktek muamalah dilarang saling
menzalimi antara kedua belah pihak, laa dharaa wala dhirara (tidak ada yang
merugikan dan dirugikan).
Tabel: Perbedaan
Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
No
|
Materi Pembeda
|
Asuransi Syariah
|
Asuransi Konvensional
|
1
|
Akad
|
Tolong-menolong
|
Jual-Beli (tabaduli)
|
2
|
Kepemilikan dana
|
Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) merupakan milik peserta,
perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolahnya
|
Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan.
Perusahaan bebas untuk menentukan investasinya
|
3
|
Investasi dana
|
Investasi dana berdasar syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah)
|
Investasi dana berdasarkan bunga (riba)
|
4
|
Pembayaran Klaim
|
Dari rekening tabaru’ (dana sosial) seluruh peserta.
|
Dari rekening dana perusahaan
|
5
|
Keuntungan
|
Dibagi antara perusahaan dengan peserta, sesuai prinsip bagi hasil
|
Seluruhnya menjadi milik perusahaan
|
6
|
Dewan Pengawas Syariah
|
Ada Dewan Pengawas Syariah. Mengawasi manajemen, produk dan investasi.
|
Tidak ada
|
7. Masalah-Masalah Aktual dalam Praktek Asuransi
Syariah
a.
Payung hukum yang belum kuat. Saat ini, eksistensi asuransi
syariah di Indonesia masih didasrkan pada Surat Keputusan Direktorat Jenderal
Lembaga Keuangan Nomor: Kep. 4499/LK/2000 tentang jenis, penilaian dan
pembatasan investasi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan
sistem syariah. Oleh karena itu, perlu adanya terobosan kontrukstif dan bentuk
pengutan secara yuridis eksistensi asuransi syariah baik berupa Undang-Undang
(UU) atau Peraturan Pemerintah (PP).
b. Perlu adanya
kejelasan antara hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang terlibat dalam
kegiatan asuransi syariah. Dalam hal ini, hak dan kewajiban antara pihak
tertanggung dan pihak penanggung perlu ditegaskan secara transparan. Karena
saat ini, disinyalir adanya ketidak jelasan terhadap dana tabarru’
yang terhimpun dalam perusahaan asuransi syariah dan belum ada kontrol
pengawasan terhadap kumpulan dana tabarru’
yang jumlahnya disinyalir akan terus bertambah.
c.
Pembenahan di tingkat Sumber Daya Insani (SDI) pada
perusahaan asuransi syariah yang saat ini masih berorientasi paradigma konvensional. Oleh karena itu diperlukan
adanya pemahaman secara mendasar oleh SDI yang bergerak pada industri asuransi
syariah tentang ekonomi syariah.
d. Perlu dukungan
yang kuat (political will) dari pihak
pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan RI, untuk memberikan dukungan
pengembangan industri asuransi syariah di Indinesia.
8. Solusi Melalui Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Kabar
menggembirakan sekaligus tantangan bagi Peradilan Agama yang mulai tahun 2006
mendapat limpahan wewenang dalam menangani sengketa yang berkaitan dengan
masalah ekonomi syariah. Berkenaan dengan wewenang tersebut diperlukan segera
hukum ekonomi syariah positif, sebagai pedoman sekaligus panduan bagi para
hakim di lingkungan Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa di antara pelaku
bisnis ekonomi syariah.
Oleh karena itu,
maksud Mahkamah Agung untuk segera menyusun kompilasi hukum ekonomi syariah
merupakan langkah nyata dan perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak dalam
ikut berperan serta mengawal berlangsungnya kegiatan industri keuangan syariah
di Indonesia. Adapun bahan materi kompilasi hukum ekonomi syariah yang
berkaitan dengan masalah asuransi dapat dirujukan dari:
a. Fatwa Dewan
Syariah Nasional-MUI No. 21 tahun 2001 tentang pedoman umum asuransi syariah;
b. Surat Keputusan
Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor: Kep. 4499/LK/2000 tentang jenis,
penilaian dan pembatasan investasi perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi dengan sistem syariah;
c. Literatur
tentang asuransi syariah;
Wallahu ‘alam bis showab
Kesimpulan
Asuransi
merupakan hal yang sangat penting bagi kalangan masrayakat, karena dengan
asuransi dapat menjaga kehidupan tanpa adanya kekhawatiran sebab adanya jaminan
dan pertanggungan. Dengan adanya perkembangan tentang ekonomi syariah saat ini,
para tokoh ulama pun betindak cepat, karena banyak perusahaan yang mendirikan
asuransi syariah yang dalam peraktiknya masih ada unsur konvensionalnya, dengan
adanya permasalahan ini menurut saya pemerintah harus memperhatikan lagi dengan
membuat hukum yang ada dalam peraktik asuransi syariah dengan tidak memadukan
dengan asuransi konvensional, sehingga asuransi syariah dapat berjalan dengan
literatur syariat islam yang benar.
¨
Makalah disampaikan dalam acara Seminar dan Lokakarya Mencari Format Ideal Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah diselenggarakan
oleh Tim Penyusun Kompilasi Ekonomi Syariah Mahkamah Agung RI pada tanggal 20 November 2006 di Hotel Grand Alia Cikini.
· Direktur Eksekutif Pusat
Komunikasi Ekonomi Syari’ah (PKES)
* Staf Pengkaji pada Pusat
Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES)
[1] Mustafa Ahmad Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am, Juz I, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1968), h. 291
[2] Ibid.
[3] Pemindahan hak ini berupa perpindahan kepemilikan harta (dana) yang
disetor melalui pembayaran premi; yang awalnya masih menjadi milik peserta
ansuransi tetapi setelah dibayarkan ke perusahaan asuransi, dana tersebut
menjadi milik perusahaan, bukan lagi menjadi milik peserta.