Kapita Selekta Asuransi Syariah: Tela’ah Umum Tentang Asuransi Syariah di Indonesia¨

Oleh:
Dr. Ir. Muhamad Nadratuzzaman Hosen, MS, M.Ec·
AM Hasan Ali, MA*



1.      Pendahuluan
Awalnya, wacana tentang asuransi syariah termasuk dalam hukum Islam kontemporer. Pada zaman awal Islam, yaitu pada zaman Nabi Muhammad Saw dan periode Islam berikutnya, belum di kenal institusi keuangan asuransi. Tidak ada nash al-Qur’an atau Hadits Nabi yang menjelaskan tentang teori dan praktek operasional asuransi yang difahami seperti saat ini. Secara historis pembahasan tentang asuransi baru muncul pada abad 18, yaitu pada masa hidupnya Ibnu Abidin (1784-1836), seorang ulama ahli fiqh dari kalangan Madzhab Hanafiah, yang memberi tanggapan praktek asuransi pada kitabnya Raddul Mukhtar, pada Bab ­al-musta’min (pihak yang meminta jaminan).
Sebagai bagian dari masalah fiqh kontemporer, wacana tentang asuransi syariah memungkinkan untuk dikaji secara ijtihadiy. Di kalangan ulama kontem-porer, di antaranya Mustafa Ahmad Zarqa, termasuk salah satu ulama yang bisa menerima praktek asuransi dengan catatan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam. Dalam hal ini, asuransi dapat diterima dan dijalankan setelah melalui penyesuaian-penyesuaian melalui proses “islamisasi”. Praktek yang tidak sesuai dengan Islam dikeluarkan dalam operasional kegiatan asuransi, seperti praktek riba (bunga), maisir dan gharar.
Penerimaan praktek asuransi di kalangan ulama dapat melalui institusi ijma’ jama’i (kesepakatan bersama), seperti lembaga fatwa yang ada dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau lembaga bahtsul masa’il di NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Pada tahun 2001, MUI melalui Dewan Syariah Nasional (DSN), telah mengeluarkan fatwa tentang pedoman umum asuransi syariah sebagai panduan awal operasional industri asuransi syariah di Indonesia.  Tujuan adanya fatwa  ini sebagai panduan awal operasional asuransi syariah di Indonesia.
Pada tahap berikutnya, fatwa tentang asuransi syariah yang dikeluarkan oleh DSN-MUI dapat dijadikan bahan materi dalam proses positivisasi hukum ekonomi syariah yang sedang dikerjakan oleh Kelompok Kerja (Pokja) Mahkamah Agung RI.
Di sisi lain, perlu mendapat perhatian dalam masalah asuransi syariah adalah sistem operasional dan akad yang digunakan dalam kegiatan asuransi syariah. Pada masalah akad banyak ditemukan dalam operasional asuransi syariah yang tidak didasarkan pada satu akad saja, tetapi lebih banyak menggunakan gabungan dari beberapa akad. Contohnya, produk asuransi syariah yang memakai dua rekening, rekening saving dan rekening non saving (tabarru’), mendasarkan akadnya pada akad tabarru’ dan akad tijarah.
2.      Memahami Definisi Asuransi Syariah
Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance, yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata “pertanggungan”. Echols dan Shadilly memaknai kata insurance dengan (a) asuransi,  dan (b) jaminan. Dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan).
Dalam bahasa Arab istilah asuransi biasa diungkapkan dengan kata at-tamin yang secara bahasa berarti tuma’ninatun nafsi wa zawalul khauf, tenangnya jiwa dan hilangnya rasanya takut. Maksudnya, orang yang ikut dalam kegiatan asuransi, jiwanya akan tenang dan tidak ada rasa takut ataupun was-was dalam menjalani kehidupan, karena ada pihak yang memberikan jaminan atau pertanggungan. Hal ini sama dengan seseorang yang sedang kuliah atau sekolah yang keperluan sehari-harinya ada yang menjamin dalam pelaksanaan kuliah dia akan merasa tenang dan tidak perlu kuatir. Berbeda dengan seseorang yang menjalani kuliah tanpa adanya jaminan dari orang tua atau orang lain, kuliah sambil kerja, orang tersebut menjalani kuliah tidak tenang dan ada perasaan kuatir, karena harus mencari biaya sendiri selama kuliah.
Mengenai definisi asuransi secara baku dapat dilacak dari peraturan (perundang-undangan) dan beberapa buku yang berkaitan dengan asuransi, seperti yang tertulis di bawah ini:
Muhammad Muslehuddin dalam bukunya Insurance and Islamic Law mengadopsi pengertian asuransi dari Encyclopaedia Britanica sebagai suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang, yang dapat tertimpa kerugian, guna menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan, sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah seorang di antara mereka maka beban kerugian tersebut akan disebarkan ke seluruh kelompok.
Lebih jauh Muslehuddin menjelaskan pengertian asuransi dalam sudut pandang yang berbeda, serta mengalami kesimpangsiuran. Ada yang mendefinisikan asuransi sebagai perangkat untuk menghadapi kerugian, dan ada yang mengatakannya sebagai persiapan menghadapi risiko. Dilihat dari signifikansi kerugian, Adam Smith berpendapat bahwa asuransi dengan menyebarkan beban kerugian kepada orang banyak, membuat kerugian menjadi ringan  dan mudah bagi seluruh masyarakat.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa asuransi (Ar: at-ta’min) adalah “transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.”
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang dimaksud asuransi atau pertanggungan adalah “suatu perjanjian (timbal balik), dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu (onzeker vooral).”
Asuransi menurut UU RI No. 2 th. 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Sedangkan pengertian asuransi syariah menurut fatwa DSN-MUI, yang lebih dikenal dengan ta’min, takaful, atau tadhamun adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah .
Dari definisi asuransi syariah di atas jelas bahwa pertama, asuransi syariah berbeda dengan asuransi konvensional. Pada asuransi syariah setiap peserta sejak awal bermaksud saling menolong dan melindungi satu dengan yang lain dengan menyisihkan dananya sebagai iuran kebajikan yang disebut tabarru’. Jadi sistem ini tidak menggunakan pengalihan risiko (transfer of risk)  dimana tertanggung harus membayar premi, tetapi lebih merupakan pembagian risiko (sharing of risk) di mana para peserta saling menanggung. Kedua, akad yang digunakan dalam asuransi syariah harus selaras dengan hukum Islam (syari’ah), artinya akad yang dilakukan harus terhindar dari riba, gharar (ketidak jelasan dana), dan maisir (gambling), di samping itu investasi dana harus pada obyek yang halal-thoyibah.
3.      Nilai Filosofis Asuransi Syariah
Allah menciptakan manusia di muka bumi sebagai khalifah (wakil Allah) yang bertugas untuk memakmurkan kehidupan di muka bumi. Firman Allah Swt. dalam QS. al-Baqarah [2]:30
وَإِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيْفَةً...[البقرة:30]
Arinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi…” (QS. Al-Baqarah [2]: 30]
Sebagai makhluk yang lemah, manusia harus senantiasa sadar bahwa keberada-annya tidak akan mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain atau sesamanya. Solusinya adalah firman Allah Swt. dalam QS. al-Maidah [5]: 2
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَاِب.[المائدة:2]
Artinya: “...Tolong-menolonglah kamu dalam  (mengerjakan)kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. al-Maidah [5]: 2)
Dengan ayat ini, manusia dituntun oleh Allah Swt. agar selalu berbuat tolong-menolong (ta’awun) antar sesamanya dalam kebaikan dan didasari atas nilai takwa kepada Allah Swt. Hal ini merupakan satu prinsip dasar yang harus dipegangi manusia dalam menjalani kehidupannya di atas permukaan bumi ini. Dengan saling melakukan tolong-menolong (ta’awun), manusia telah menjalankan satu fitrah dasar yang diberikan Allah Swt. kepadanya. Prinsip dasar inilah yang menjadi salah satu nilai filosofi dari berlakunya asuransi syariah.
            Di sisi lain manusia mempunyai sifat lemah dalam menghadapi kejadian yang akan datang. Sifat lemah tersebut berbentuk ketidak-tahuannya terhadap kejadian yang akan menimpa pada dirinya. Manusia tidak dapat memastikan bagaimana keadaannya pada waktu di kemudiaan hari (future time).  Firman Allah Swt. telah ditegaskan dalam QS. al-Taghaabun [64]:11 dan  QS. Luqman [31]:34:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ...[التغابن: 11]
Artinya: “Tidak ada sesuau musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah…” (QS. Al-Taghaabun [64]: 11)
إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيُعَلِّمُ مَا فِي اْلأَرْحاَمِ وَماَ تَدْرِى نَفْسٌ ماَذَا تَكْسِبُ غَداً وَماَ تَدْرِى نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبْيْرٌ.[لقمان: 34]
Artinya: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak seorangpun yang dapa mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok; dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Luqman [31]: 34)
Apakah hari esok dia (manusia) masih dalam keadaan sehat wal-afiat dan masih dapat melihat terbitnya matahari di sebelah timur atau apakah harta kekayaannya masih dalam keadaan aman dan tidak akan mengalami kehancuran atau terkena kebakaran?
Sebuah pertanyaan yang tidak akan dapat dipastikan jawabannya  oleh manusia, karena kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia tidak dapat menjangkau hal-hal yang belum terjadi. Allah Swt. tidak memberikan kemampuan tersebut kepada manusia. Kemampuan yang diberikan kepada manusia hanya sebatas memprediksikan dan merencanakan (planning) sesuatu yang belum terjadi serta memproteksi segala sesuatu yang dirasa akan memberikan kerugian di masa mendatang.
            Suatu yang telah menjadi ketetapan-Nya adalah ajal (kematian) yang akan dialami oleh setiap manusia. Firman Allah Swt. QS. Ali Imran [3]: 145 dan 185:
وَماَ كاَنَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوْتَ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ كِتاَباً مُؤَجَّلاً...[أل عمران: 145]
Artinya: ”Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang tertentu waktunya.” (QS. Ali Imran [3]: 145)
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ. [أل عمران: 185]
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati…” (QS. Ali Imran [3]: 185)

Dalam hal ini manusia ditugaskan hanya mengatur bagaimana cara mengelolah kehidupannya agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat (sa’adah al-daraini), seperti firman Allah Swt. dalam QS. al-Baqarah [2]: 201. Adapun salah satu caranya adalah dengan menyiapkan bekal (proteksi) untuk kepentingan di masa datang agar segala sesuatu yang bernilai negatif, baik dalam bentuk musibah, kecelakaan, kebakaran ataupun kematian, dapat diminimalisir kerugiannya. Hal semacam ini telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf secara jelas dalam menakwilkan mimpi Raja Mesir tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus. Firman Allah Swt. dalam QS. Yusuf [12]: 46-49
يُوْسُفُ أَيُّهاَ الصِّدِّيْقُ أَفْتِنَا فِي سَبْعِ بَقَرَاتٍ سِماَنٍ يَأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَّسَبْعِ سُنْبُلاَتٍ خُضْرٍ وَّأُخَرَ يَبِساَتٍ لَّعَلِّي أَرْجِعُ إِلَى النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَعْلَمُوْنَ. قَاَل تَزْرَعُوْنَ سَبْعَ سِنِيْنَ دَأَبًا فَمَا حَصَدْتُمْ فَذَرُوْهُ فِي سَبِيْلِهِ إِلاَّ قَلِيْلاً مَا تَأْكُلُوْنَ.  ثُمَّ يَأْتِيْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ إِلاَّ قَلِيْلاً مِمَّا تُحْسِنُوْنَ. ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَاٌم فِيْهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيْهِ يَعْصِرُوْنَ. [يوسف: 46-49]
Arinya: “(Setelah pelayan iu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya”. Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur). (QS. Yusuf [12]: 46-49)
Ayat di atas memberikan pelajaran berharga bagi manusia pada saat ini yang secara ekonomi dituntun agar mengadakan persiapan secara matang untuk menghadapi masa-masa yang sulit jikalau menimpanya pada waktu yang akan datang. Praktek asuransi ataupun bisnis pertanggungan dewasa ini telah mengadopsi semangat yang timbul dari nilai-nilai yang telah berkembang sejak zaman dahulu dan ada bersamaan dengan kehadiran manusia. Paling tidak terekam melalui cerita Nabi Yusuf di atas dan penjelasan dalam al-Qur’an atau sunnah Nabi Muhammad Saw.  
Jadi, prinsip dasar inilah yang menjadi tolok ukur dari nilai filosofi asuransi syariah yang berkembang pada saat ini. Yaitu dalam bentuk semangat tolong-menolong, bekerjasama dan proteksi terhadap peril (peristiwa yang membawa kerugian).
4.     Pendapat Ulama tentang Asuransi
Para ulama awalnya berbeda pendapat dalam menentukan keabsahan praktek hukum asuransi. Secara garis besar, kontroversial terhadap masalah ini dapat dipilah menjadi dua kelompok, yaitu pertama ulama yang mengharamkan asuransi, dan kedua ulama yang membolehkan asuransi. Kedua kelompok ini mempunyai hujjah (dasar hukum) masing-masing dan memberikan alasan-alasan hukum sebagai penguat terhadap pendapat yang disampaikannya. Di antara pendapat para ulama dalam masalah asuransi ini ada yang mengharamkan asuransi dalam bentuk apapun dan ada yang membolehkan semua bentuk asuransi. Di samping itu ada yang berpendapat membolehkan asuransi yang bersifat sosial (ijtima’i) dan mengharam-kan asuransi yang bersifat komersial (tijary) serta ada pula yang meragukannya (subhat).
Alasan ulama yang mengharamkan praktek asuransi, adalah:
a.   Asuransi mengandung unsur perjudian yang dilarang di dalam Islam.
b.  Asuransi mengandung unsur ketidak-pastian.
c.   Asuransi mengandung unsur riba yang dilarang dalam Islam
d.  Asuransi termasuk jual-beli atau tukar menukar mata uang tidak secara tunai.
e.   Asuransi obyek bisnisnya digantungkan pada hidup matinya seseorang, yang berarti mendahului takdir Allah Swt.
f.   Asuransi mengandung unsur eksploitasi yang bersifat menekan.
Mahdi Hasan melarang praktek asuransi dikarenakan: (a) Asuransi tak lain adalah riba berdasarkan kenyataan bahwa tidak ada kesetaraan antara dua pihak yang terlibat, padahal kesetaraan  demikian wajib ada-nya, (b) Asuransi juga adalah perjudian, karena ada penggantungan kepemilikan pada munculnya risiko, (c) Asuransi adalah pertolongan dalam dosa, karena perusahaan asuransi, meskipun milik negara, toh merupakan institusi yang mengadakan transaksi dengan riba, (d) Dalam asuransi jiwa juga ada unsur penyuapan (risywah), karena kompensasi di dalamnya adalah  untuk sesuatu yang tidak dapat dinilai.
Argumentasi ulama dalam membolehkan asuransi adalah:
a.       Tidak terdapat nash al-Qur’an atau Hadits yang melarang Asuransi
b.      Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak
c.       Asuransi menguntungkan kedua belah pihak
d.      Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan.
e.       Asuransi termasuk akad mudharabah antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi, dan
f.       Asuransi termasuk syirkah at-ta’awuniyah, usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong menolong.
5.     Akad Pada Asuransi Syariah
Akad pada operasional asuransi syariah dapat didasarkan pada akad tabarru’, yaitu akad yang didasarkan atas pemberian dan pertolongan dari satu pihak kepada pihak yang lain.[1] Akad tabarru’ merupakan bagian dari tabaddul haq (pemindahan hak). Walaupun pada dasarnya akad tabarru’ hanya searah dan tidak disertai dengan imbalan, tetapi ada kesamaan prinsip dasar di dalamnya, yaitu adanya nilai pemberian yang didasarkan atas prinsip tolong-menolong dengan melibatkan perusahaan asuransi sebagai lembaga pengelolah dana.
Dengan akad tabarru’ berarti peserta asuransi telah melakukan persetujuan dan perjanjian dengan perusahaan asuransi (sebagai lembaga pengelolah) untuk menyerahkan pembayaran sejumlah dana (premi) ke perusahaan agar dikelolah dan dimanfaatkan untuk membantu peserta lain yang kebetulan mengalami kerugian. Akad tabarru’ ini mempunyai tujuan utama yaitu terwujudnya kondisi saling tolong-menolong antara peserta asuransi untuk saling menanggung (takaful) bersama. Zarqa tidak menyebutkan akad takaful dalam mengilustrasikan kondisi semacam ini, tetapi dengan memakai istilah akad tabarru’.[2] Sebagai implikasinya, adalah peniadaan prinsip pertukaran (tabaddul) yang layak terjadi pada akad al-ba’i (jual-beli). Akad tabadduly adalah akad yang selama ini dipakai oleh perusahaan asuransi konvensional, yaitu memposisikan nasabah asuransi sebagai pembeli polis yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi, sedang pihak perusahaan adalah penjual polis yang harus dibayar melalui pembayaran premi. Akibat dari akad ini (tabaduly) adalah keharusan pemindahan hak.[3]
Akad lain yang dapat diterapkan dalam bisnis asuransi adalah akad mudharabah, yaitu satu bentuk akad yang didasarkan pada prinsip profit and loss sharing (berbagi atas untung dan rugi), di mana dana yang terkumpul dalam total rekening tabungan (saving) dapat di-investasi-kan oleh perusahaan asuransi yang risiko investasi ditanggung bersama antara perusahaan dan nasabah.
Secara ringkas, dapatlah dikatakan bahwa dalam praktek asuransi paling tidak ada dua akad yang membentuknya, yaitu; akad tabarru’ dan akad mudharabah. Akad tabarru’ terkumpul dalam rekening dana sosial yang tujuan utamanya digunakan untuk saling menanggung (takaful) peserta asuransi yang mengalami musibah kerugian. Sedang akad mudharabah terwujud tetkala dana yang terkumpul dalam perusahaan asuransi itu diinvestasikan dalam wujud usaha yang diproyeksikan menghasilkan keuntungan (profit). Karena landasan dasar yang awal dari akad mudharabah ini adalah prinsip profit and loss sharing, maka jika dalam investasinya mendapat keuntungan, maka keuntungan tersebut dibagi bersama sesuai dengan porsi (nisbah) yang disepakati. Sebaliknya jika dalam investasinya mengalami kerugian (loss atau negative return) maka kerugian tersebut juga dipikul bersama antara peserta asuransi dan perusahaan.

6. Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
a.      Akad
Dalam operasional asuransi, akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas. Apakah akadnya jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful). Dalam asumsi biasa (konvensional) terjadi kerancuan/ketidakjelasan dalam masalah akad. Pada asuransi biasa akad yang melandasi adalah jual beli (aqd tadabuli). Oleh karena itu syarat-syarat dalam akad jual beli harus terpenuhi dan tidak boleh dilanggar ketentuan syariahnya.
Syarat dalam transaksi jual beli adalah adanya penjual, pembeli, terdapatnya harga, dan barang yang diperjualbelikan. Pada asuransi biasa, penjual, pembeli, barang atau yang akan diperoleh ada, yang dipersoalkan adalah berapa besar premi yang harus dibayar kepada perusahaan asuransi, padahal hanya Allah yang tahu tahun berapa kita meninggal. Jadi pertanggungan yang akan diperoleh sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah yang akan disetorkan tidak jelas tergantung usia kita, dan hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal.
Dengan demikian akadnya jual beli maka dalam asuransi biasa terjadi cacat secara syariah karena tidak jelas (gharar). Yaitu berapa besar yang akan dibayarkan kepada pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non saving).

b. Gharar (ketidakjelasan)
Definisi gharar menurut madzhab Syafii adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti. Ibnu Taimiyah bicara tentang gharar, yaitu al gharar yang tidak diketahui akibatnya. Sedangkan Ibnu Qoyim berkata al gharar adalah yang tidak bisa diukur penerimaannya baik barang itu ada atau tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan diri dan unta liar meskipun ada.
Pada asuransi konvensional, terjadi karena tidak ada kejelasan makud alaih (sesuatu yang diakadkan). Yaitu meliputi beberapa sesuatu akan diperoleh (ada atau tidak, besar atau kecil). Tidak diketahui berapa yang akan dibayarkan, tidak diketahui berapa lama kita harus membayar (karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal). Karena tidak lengkapnya rukun dari akad maka terjadilah gharar. Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa akad jual beli atau akad pertukaran harta benda dalam hal ini adalah cacat secara hukum.
Takaful mengganti akad tadi dengan niat tabarru (aqd takafuli), yaitu suatu niat tolong menolong pada sesama peserta takaful apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Pertolongan tersebut tentunya tidak tertutup kemungkinan untuk kita atau keluarga apabila Allah mentakdirkan kita lebih dahulu mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar. Seperti yang disebutkan dalam beberapa hadist.
Rasulullah pernah melarang jual beli gharar (HR Muslim). Dari Ali RA katanya Rasulullah pernah melarang jual beli orang terpaksa, jual beli gharar HR Abu Daud).
Konsekuensi dari akad dalam asuransi konvensional, dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi. Sedangkan dalam asuransi takaful, dana yang terkumpul adalah milik peserta dan takaful tidak boleh mengklaim milik takaful.

d. Tabarru
Tabarru berasal dari kata tabarraa yatabarra tabarrauan, yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat tabarru merupakan alternatif uang yang sah dan diperkenankan. Tabarru bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta takaful, ketika diantaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening tabarru yang sudah diniatkan oleh sesama takaful untuk saling tolong menolong.
Menyisihkan harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam agama Islam, dan akan mendapat balasan yang sangat besar dihadapan Allah, sebagaimana digambarkan dalam hadist Nabi SAW, barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya (HR Bukhari, Muslim dan Abu Daud).

e. Maisir (judi, untung/untungan)
Dalam mekanisme asuransi konvensional, maisir (untung untungan), sebagai akibat dari status kepemilikan dana dan adanya gharar. Al gharar menurut bahasanya artinya penipuan., yang tidak ada unsur rela pada pelaksanaannya, sehingga termasuk memakan harta bathil. Pada bagian lain Zuhail berkata bahwa baial gharar adalah jual beli yang mengandung resiko bagi salah seorang yang mengadakan akad sehingga mengakibatkan hilangnya harta. Faktor inilah yang dalam asuransi konvensional disebut maisir (gambling).
Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al maisir. Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional mengatakan adanya unsur maisir karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia, sebelum periode akhir polis asuransinya, namun telah membayar preminya sebagian maka tanggungannya akan menerima sejumlah uang tertentu.
Bagaimana cara memperoleh uang dan dari mana asalnya tidak diberitahukan kepada pemegang polis. Hal ini dipandang sebagai al maisir. Unsur ini pula yang terdapat dalam bisnis asuransi, dimana keuntungan yang diperoleh tergantung dengan pengalaman si penanggung, keuntungan dipandang sebagai hasil mengambil resiko, bahkan sebagai hasil kerjanya yang riil.
Lebih jauh Muhammad Fadli Yusuf mengatakan, tetapi apabila pemegang polis mengambil (ikut) asuransi tidak dapat disebut judi. Yang boleh disebutkan judi, jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak sedikitnya klaim yang dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak sedikitnya klaim yang dibayarnya.

f. Riba
Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga. Dengan demikian asuransi konvensional selalu melibatkan diri dalam riba. Demikian juga dengan perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntugan di depan. Takaful menyimpan dananya di bank yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudharabah. Demikian pula investasinya, selain di bank-bank syariah juga pada bidang-bidang lain yang tidak bertentangan dengan syariah.
Allah dengan tegas melarang praktek riba, “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang memang riba itu bersifat berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan” (Ali Imron:130). Sedangkan hadist Nabi mengutuk orang-orang yang terlibat dalam transaksi riba “Rasulullah mengutuk pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda kepada mereka semua sama” (HR Muslim).

g. Dana Hangus
Hal lain yang sering dipermasalahkan oleh para ulama pada asuransi konvensional adalah adanya dana yang hangus, dimana peserta yang tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mendundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana peserta itu hangus. Demikian pula juga asuransi non saving (tidak mengandung unsur tabungan) atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus yang sekaligus menjadi milik pihak asuransi.
Hal ini menurut para ulama sangat merugikan peserta terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Pada kaitan ini peserta dalam posisi yang dizalimi, padahal dalam praktek muamalah dilarang saling menzalimi antara kedua belah pihak, laa dharaa wala dhirara (tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Tabel: Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional

No
Materi Pembeda
Asuransi Syariah
Asuransi Konvensional
1
Akad
Tolong-menolong
Jual-Beli (tabaduli)
2
Kepemilikan dana
Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) merupakan milik peserta, perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolahnya
Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Perusahaan bebas untuk menentukan investasinya
3
Investasi dana
Investasi dana berdasar syariah dengan sistem bagi hasil (mudharabah)
Investasi dana berdasarkan bunga (riba)
4
Pembayaran Klaim
Dari rekening tabaru’ (dana sosial) seluruh peserta.
Dari rekening dana perusahaan
5
Keuntungan
Dibagi antara perusahaan dengan peserta, sesuai prinsip bagi hasil
Seluruhnya menjadi milik perusahaan
6
Dewan Pengawas Syariah
Ada Dewan Pengawas Syariah. Mengawasi manajemen, produk dan investasi.
Tidak ada

7. Masalah-Masalah Aktual dalam Praktek Asuransi Syariah

a.      Payung hukum yang belum kuat. Saat ini, eksistensi asuransi syariah di Indonesia masih didasrkan pada Surat Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor: Kep. 4499/LK/2000 tentang jenis, penilaian dan pembatasan investasi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan sistem syariah. Oleh karena itu, perlu adanya terobosan kontrukstif dan bentuk pengutan secara yuridis eksistensi asuransi syariah baik berupa Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP).

b.     Perlu adanya kejelasan antara hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan asuransi syariah. Dalam hal ini, hak dan kewajiban antara pihak tertanggung dan pihak penanggung perlu ditegaskan secara transparan. Karena saat ini, disinyalir adanya ketidak jelasan terhadap dana  tabarru’ yang terhimpun dalam perusahaan asuransi syariah dan belum ada kontrol pengawasan terhadap kumpulan dana tabarru’ yang jumlahnya disinyalir akan terus bertambah.

c.      Pembenahan di tingkat Sumber Daya Insani (SDI) pada perusahaan asuransi syariah yang saat ini masih berorientasi paradigma  konvensional. Oleh karena itu diperlukan adanya pemahaman secara mendasar oleh SDI yang bergerak pada industri asuransi syariah tentang ekonomi syariah.

d.     Perlu dukungan yang kuat (political will) dari pihak pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan RI, untuk memberikan dukungan pengembangan industri asuransi syariah di Indinesia.
8. Solusi Melalui Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Kabar menggembirakan sekaligus tantangan bagi Peradilan Agama yang mulai tahun 2006 mendapat limpahan wewenang dalam menangani sengketa yang berkaitan dengan masalah ekonomi syariah. Berkenaan dengan wewenang tersebut diperlukan segera hukum ekonomi syariah positif, sebagai pedoman sekaligus panduan bagi para hakim di lingkungan Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa di antara pelaku bisnis ekonomi syariah.
Oleh karena itu, maksud Mahkamah Agung untuk segera menyusun kompilasi hukum ekonomi syariah merupakan langkah nyata dan perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak dalam ikut berperan serta mengawal berlangsungnya kegiatan industri keuangan syariah di Indonesia. Adapun bahan materi kompilasi hukum ekonomi syariah yang berkaitan dengan masalah asuransi dapat dirujukan dari:
a.       Fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI No. 21 tahun 2001 tentang pedoman umum asuransi syariah;
b.      Surat Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor: Kep. 4499/LK/2000 tentang jenis, penilaian dan pembatasan investasi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan sistem syariah;

c.       Literatur tentang asuransi syariah;
Wallahu ‘alam bis showab


Kesimpulan

            Asuransi merupakan hal yang sangat penting bagi kalangan masrayakat, karena dengan asuransi dapat menjaga kehidupan tanpa adanya kekhawatiran sebab adanya jaminan dan pertanggungan. Dengan adanya perkembangan tentang ekonomi syariah saat ini, para tokoh ulama pun betindak cepat, karena banyak perusahaan yang mendirikan asuransi syariah yang dalam peraktiknya masih ada unsur konvensionalnya, dengan adanya permasalahan ini menurut saya pemerintah harus memperhatikan lagi dengan membuat hukum yang ada dalam peraktik asuransi syariah dengan tidak memadukan dengan asuransi konvensional, sehingga asuransi syariah dapat berjalan dengan literatur syariat islam yang benar.





¨ Makalah disampaikan dalam acara Seminar dan Lokakarya Mencari Format Ideal Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah diselenggarakan oleh Tim Penyusun Kompilasi Ekonomi Syariah Mahkamah Agung RI  pada tanggal 20 November 2006  di Hotel Grand Alia Cikini.
· Direktur Eksekutif Pusat Komunikasi Ekonomi Syari’ah (PKES)
* Staf Pengkaji pada Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES)
[1] Mustafa Ahmad Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1968), h. 291
[2] Ibid.
[3] Pemindahan hak ini berupa perpindahan kepemilikan harta (dana) yang disetor melalui pembayaran premi; yang awalnya masih menjadi milik peserta ansuransi tetapi setelah dibayarkan ke perusahaan asuransi, dana tersebut menjadi milik perusahaan, bukan lagi menjadi milik peserta.